Friday, May 9, 2008

Inkulturasi budaya Indonesia dalam Filosofi Buddhism

PRESS RELEASE SIARAN PRESS For Immediate Release Untuk Disiarkan Segera YTH: Rekan Jurnalis Desk: Kota, Nasional,Budaya, Seni Upacara Pindapata, Khasanah Tradisi Kuno Para Buddha Sejak Masa Lampau Surabaya—7 Mei 2008 Menilik kehidupan para Bhikku agama Buddha yang melakukan upacara Pindapata (terutama Bhikku dari aliran Teravada); semuanya didasarkan dalam ajaran Sang Buddha yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada; Appalābho pi ce bhikkhu - salābhaṁ nātimaññati Taṁ ve devā pasaṁsanti - suddhājīviṁ atanditan'ti Walaupun hanya memperoleh sedikit, tetapi apabila seorang bhikkhu tidak mencela apa yang telah diperolehnya, maka para dewa pun akan memuji orang seperti itu, yang memiliki kehidupan bersih serta tidak malas. (Dhammapada 366) Sebetulnya banyak sekali yang dapat dipelajari dari tradisi kehidupan para bhikku. Sebagai sebuah agama tua yang eksis dalam sejarah peradaban umat manusia sejak 500 tahun sebelum masehi, kekayaan budaya dan tradisi ajaran agama Buddha banyak yang masih belum dikenal umatnya (khususnya umat Buddha di Indonesia) secara mendalam. Salah satunya adalah upacara Pindapata. Upacara ini merupakan sebuah bagian dari tradisi seluk-beluk kehidupan bhikkhu—pemuka agama Buddha; yang cukup menarik untuk dikenal secara lebih mendalam. Kehidupan para bhikku yang khusus dan notabene memang memiliki banyak dimensi berbeda dengan kehidupan para umat biasa didasarkan pada kesederhanaan yang bersahaja sebagai sebuah langkah mencapai kesempurnaan; yang bersumber pada ajaran Dhamma (ajaran sang Buddha Gautama). Tradisi kehidupan bhikkhu ini adalah warisan dari Sang Buddha kepada para siswa-siswaNya, yaitu para bhikkhu itu sendiri. Pindapata sebagai bagian sejarah dalam uraian Dhamma Menurut Mr. Alec Robertson (dalam bukunya berjudul 'The Religious Significance of the Full Moons', terbitan Singapore Buddhist Meditation Centre, halaman 146), waktu kehadiran Sang Buddha di tengah-tengah 1250 muridnya yang merupakan bhikkhu Arahat (yang sudah mencapai pencerahan), Buddha Sidharta gautama memberitahukan pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat Moggallana sebagai Siswa Utama Sang Buddha. Dan dikatakan bahwa Sang Buddha mengumumkan, sejak saat itu tiga bulan lagi Beliau akan Parinibbana (wafat). Dalam pertemuannya dengan para Arahat tersebut, Sang Buddha menguraikan inti AjaranNya yang menyatakan, "Tidak melakukan kejahatan apapun, senantiasa mengembangkan kebajikan dan membersihkan batin. Kesabaran adalah praktek pertapa yang paling tinggi. Nibbana adalah yang tertinggi." Dalam menerangkan Dhamma, Buddha Sakyamuni (Sidharta Gautama) membabarkan ovadapatimokkha, tentang inti ajaran yang bersifat universal. Hal inilah yang dijadikan tag line dari rangkaian upacara yang dihelat oleh umat dan pengurus Vihara Berkah Utama. Percaya atau tidak, setuju atau tidak, mengerti atau tidak, ajaran ini adalah hukum alam yang tidak bisa ditawar-tawar, dinegosiasi atau direkayasa. Jika kita ikuti ajaran tersebut dalam teori dan dalam praktek justru lebih penting, maka kita akan dapat merasakan kesejukan dan kedamaian batin yang tenang dan tentu bahagia. Kebahagiaan yang akan dirasakan merupakan buah dari perbuatan umat yang sesuai dengan Dhamma inti untuk tidak melakukan segala bentuk kejahatan. Hal inilah yang dijadikan intisari peraturan kehidupan para Bhikku untuk melepaskan diri dari segala bentuk keduniawian dan materi; sebuah akar munculnya upacara Pindapata. Mengenal Pindapata dalam Prakteknya Pindapata bukanlah peristiwa yang terjadi dan diperingati berkaitan dengan hari besar tertentu. Pindapata adalah tradisi kehidupan para pertapa (bhikkhu) yang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha (semua Buddha). Pindapata dilakukan sebagai kebiasaan para Bhikku dalam menempuh dan mengarungi kehidupan pertapaan tanpa ikatan seperti urusan rumah tangga; serta pola kehidupan yang harus merdeka dari dimensi ekonomi dan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap materi. Tradisi pindapata ini memang dimulai oleh Sang Buddha sendiri, bahkan kegiatan ini memang merupakan kebiasaan para pertapa meskipun tidak dimulai oleh Sang Buddha. Mengapa para pertapa (bhikkhu) melakukan upacara pindapata? Idealnya memang seorang bhikkhu hidup dengan pindapata, atau menggantungkan hidup sepenuhnya dari pemberian umat. Namun sekarang keadaan sudah berbeda dengan kondisi jaman dahulu. Sekarang inipun, situasi dan kondisi di berbagai bagian dunia berbeda-beda satu dengan di lain tempat. Para bhikkhu yang tinggal di Thailand mengikuti tradisi di tempat itu yang sudah berurat berakar. Mereka yang mengenakan jubah kuning, menjadi bhikkhu harus berpindapata, itupun hanya pagi hari. Makanan yang diperoleh bisa untuk makan dua kali, pagi dan siang sebelum tengah hari (sekarang dengan ukuran kurang lebih jam 12.00) waktu setempat. Jika menjadi bhikkhu di negara tersebut, maka kehidupan para bhikku ini sepenuhnya dijalani dengan menggantungkan pada pemberian umat melalui Pindapata. Pindapata dilakukan para bhikku dengan keluar dari vihara, berjalan kaki tanpa alas kaki apapun, dari satu tempat ke tempat lain hingga patta (mangkuk) nya berisi cukup/penuh dengan makanan yang diberikan umat yang berbakti kepada Bhikkhu penghuni Sangha (vihara / komunitas para bhikku yang hidup bersama). Berbeda dengan negara Thailand, negara Buddhis Sri Lanka memiliki tradisi yang lain dalam kehidupan pertapa (bhikkhu). Hubungan para bhikku dengan umat awam (perumah-tangga / upasaka-upasika) berbeda dengan bhikku lain terutama yang hidup di Thailand. Para bhikkhu di negeri tetangga India ini tidak menggantungkan hidupnya dari pindapata melainkan dari seringnya diundang ke rumah-rumah umat untuk bersantap. Jika tidak ada undangan, maka makanan untuk para bhikkhu disiapkan di vihara oleh pekerja vihara. Para pekerja vihara mengatur makanan untuk para bhikkhu dengan sebaik mungkin. Para umat berdana (beramal) dengan memberi makanan di vihara untuk para bhikkhu secara teratur/terjadwal bergiliran satu dengan umat yang lain secara rutin setiap harinya. Dengan demikian tidak ada hari kosong, sehingga tidak mungkin ada hari tertentu para bhikkhu tidak mendapatkan makanan sama sekali. Jadi, di Sri Lanka tidak ada tradisi pindapata seperti di Thailand. Berbeda lagi dengan situasi dan kondisi kita di Indonesia. Sebagai sebuah negara pluralistik yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, bahasa, dan agama, dan bukanlah Negara Buddha; penampilan bhikkhu yang bersahaja beserta seluk-beluknya masih belum dikenal secara mendalam. Maka dari itu itu tradisi pindapata tidak dilakukan sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari seperti di Thailand. Umat Buddha di Indonesia bisa mengadakan pindapata, memberikan persembahan, khususnya makanan kepada para bhikkhu dengan mengadakan suatu program, tidak setiap hari seperti di Thailand, tapi secara rutin setiap hari-hari tertentu, dan bahkan jumlah bhikkhu yang terlibat acara ini ditentukan, sehingga para umat bisa mengatur apa saja yang akan disumbangkan dalam acara ini. Sebenarnya, upacara pindapata ini tidak dapat dilepaskan dan merupakan sebuah bagian integral dalam kehidupan para bhikku. Hal ini terkait dengan peraturan hidup para bhikku yang sangat ketat dimana para bhikku, khususnya dari Buddha aliran Teravada—yang sama sekali tidak diperkenankan meminta apapun yang tidak diberikan kepada mereka; dan tidak diperkenankan memiliki materi pribadi berupa uang. Berdasarkan kaulnya terhadap kehidupan membiara, meskipun kelaparan karena tidak memiliki makanan; para bhikku tetap tidak diperkenankan meminta ataupun mengambil makanan apapun yang tidak diberikan kepada mereka. Maka dari itu, aktivitas Pindapata ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan para bhikku sebagai pertapa dalam arti superfisial. Meskipun di masa kini sudah banyak perubahan dalam konstruksi sosial ekonomi dalam konteks kehidupan masyarakat terutama umat Buddha; yang notabene juga memiliki ekses dalam kehidupan “bertapa” yang dijalani oleh para bhikku; apa yang menjadi peraturan tetaplah merupakan sesuatu yang harus ditaati. Bagaimanapun, sebuah tradisi tetap harus dipegang teguh sebagai sebuah pilar warisan ajaran Sang Buddha sendiri.(RS) Catatan Editor: Terkait dengan peresmian Vihara Berkah Utama yang terletak di kawasan JL. Genteng Muhammadiyah Surabaya, para umat Buddha di vihara tersebut menyelenggarakan upacara Pindapata yang melibatkan 15 bhikku dari seluruh Indonesia. Pada hari Minggu 11 Mei 2008 rangkaian upacara dimulai dari pukul 06.30 pagi; dimana para bhikku akan berjalan bertelanjang kaki mengelilingi area Genteng muhamadiyah, pasar Genteng, dan kembali ke vihara untuk menjalani upacara Pindapata ini. Dalam upacara ini, para umat yang turut serta juga berjalan bertelanjang kaki bersama para Bhikku dan menyumbangkan berbagai barang kebutuhan dan makanan yang nantinya juga akan digunakan sebagai barang untuk bakti sosial kepada masyarakat setempat yang membutuhkan. Upacara ini merupakan salah satu upacara pembuka dari rangkaian panjang kegiatan yang didasarkan pada filosofi ajaran Buddha yang selaras dengan hukum alam; serta perenungan filosofi nilai-nilai ajaran agama Buddha mengenai kebaikan dan kasih sebagai sebuah berkah bagi peradaban umat manusia. Ajaran amal kasih dan anti segala bentuk tindakan kejahatan diangkat kembali melalui upacara Pindapata ini yang disandingkan dengan budaya tradisional bangsa Indonesia yang bersahaja dan penuh dengan muatan nilai kebajikan. Apa yang menjadi ajaran utama agama Buddha dicoba diangkat kembali untuk menyapa hati nurani masyarakat luas melalui rangkaian upacara. Salah satunya diejawantahkan dalam pementasan tembang macapat khas blitar serta pementasan wayang kulit dengan lakon Semar. Melalui hal ini, selain mengintensikan berbagai doa permohonan untuk keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bangsa Indonesia dan pulau Jawa; juga untuk kesempurnaan arwah orang yang sudah meninggal. Pihak penyelenggara dari Vihara Berkah Utama juga ingin mengajak publik Indonesia khususnya Surabaya untuk merefleksikan kembali nilai-nilai kuno dalam khasanah tradisi bangsa Indonesia masa lampau yang penuh dengan kebajikan dan kebijaksanaan seperti tertuang dalam syair-syair macapat dan lakon Semar yang similar dengan ajaran agama Buddha. Sebuah nilai universal yang mendasarkan segala sesuatu pada keharmonisan hukum alam yang terbebas dari kotak-kotak belenggu, berlaku untuk siapa saja tanpa pandang bulu dan terbuka pada siapa saja dari segala penjuru; sama halnya seperti nilai-nilai ajaran Sang Buddha(RS) -------------------------------------------------------- MEDIA CONTACT REPRESENTATIVE: ROSARI SOENDJOTO (SMART COMMUNICATIONS INTERNATIONAL) +6281 330 200 141 +0317232 7799 rosari.i.e@gmail.com rosari_i_e@hotmail.com

No comments: